Rabu, 28 Mei 2008

Laissez Faire

Harga bahan bakar minyak (BBM) naik akhir Mei 2008. Itu sudah keputusan Pemerintah SBY–YK. Mahasiswa bisa saja menolak dan melakukan demonstrasi merata hampir di seluruh Indonesia, dari Padang sampai Kendari, dari Jakarta sampai Ternate. Tapi harga bensin tetap harus naik.Para ekonom atau pengamat bisa saja protes. Kwik Kian Gie siap dengan hitung-hitungan bahwa tak betul rakyat disubsidi lewat harga BBM. Pemerintah ternyata sudah memperoleh keuntungan berlipat-lipat selama ini, dengan menjual bensin Rp 4500/liter. ‘’Mau debat dengan siapa saja, di mana saja, dari dulu saya siap. Tapi mereka diam saja,’’ kata mantan Kepala Bappenas itu.Ekonom dan anggota DPR Drajat Wibowo bisa saja bersikukuh tak ada mashalat dengan APBN sekali pun harga BBM tak naik.

Ia ajari cara menyusun APBN, antara lain, dengan menunda pembayaran cicilan utang. Dengan itu Drajat ingin menunjukkan adalah bohong pernyataan yang menyebutkan APBN akan jebol kalau harga minyak tak dinaikkan. Ia prihatin, begitu harga BBM naik harga semua kebutuhan pokok turut naik pula. Maka rakyat yang selama ini daya belinya sudah merosot, menjadi korban. Pengalaman kenaikan harga BBM tahun 2005, menunjukkan begitu.Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diberikan pemerintah tak ada artinya, rakyat tetap saja bertambah miskin. BLT tampaknya memang sekadar proyek politik pencitraan – bahwa Presiden kita pemurah – guna menghadapi pemilihan umum.Padahal rakyat sudah amat menderita. Percuma saja Biro Pusat Statistik (BPS) memilih-milih dan memilah-milah data untuk mendukung citra pemerintah. Semua orang tahu di mana-mana sekarang rakyat makan nasi aking.
Berita radio, koran dan TV menunjukkan berapa banyak anak-anak kurang gizi dan kelaparan. Di Makasar, seorang ibu hamil meninggal dunia karena berhari-hari tak tersentuh makanan. Mereka tak mungkin diselamatkan hanya dengan data BPS.Lagi pula, apa pun data BPS, faktanya Indonesia masuk indeks 60 negara gagal 2007 (failed state index 2007) yang disusun Majalah Foreign Policy bekerja sama dengan lembaga think-tank, The Fund for Peace. Majalah itu amat berwibawa, milik The Carnegie Endowment, think-tank dengan jaringan internasional paling luas di Amerika Serikat. Salah satu pendiri majalah itu adalah Profesor Samuel Huntington, ahli ilmu politik senior dari Harvard University.
Yang hendak dikatakan, Foreign Policy bukan majalah yang diterbitkan dari pinggir got. Indonesia memang betul-betul negara gagal, satu kelompok dengan Sudan, Somalia, Iraq, Afghanistan, Zimbabwe, Ethiopia, atau Haiti. Shalat satu ukurannya: pemerintah pusat sangat lemah dan tak efektif, pelayanan umum jelek, korupsi dan kriminalitas menyebar, dan ekonomi merosot. Nah, kalau mau jujur, memang begitulah persis potret negeri kita sekarang.Data indeks pembangunan manusia (human development index) dari badan PBB, UNDP, memberikan indikator serupa. Indonesia menduduki peringkat 107 dari 177 negara, jauh di bawah Singapore, Arab Saudi, Malaysia, atau Thailand. Malah kita di bawah Filipina, Vietnam, Palestina, atau Srilangka. Padahal Srilangka itu negeri rusuh karena pemberontakan Macan Tamil dan Palestina lebih rusuh lagi akibat penjajahan Israel.Begitu pun kenyataannya tetap saja harga minyak harus naik. Apakah rakyat tambah menderita seperti dikhawatirkan Kwik Kian Gie atau Drajat Wibowo dan kawan-kawan, tak ada mashalat bagi pemerintah. Soalnya, ini sudah tak bisa ditawar. Ini sebetulnya untuk kepentingan ideologi.Ideologi? Barang siapa membaca buku terlaris dari Naomi Klein, The Shock Doctrine, The Rise of Disaster Capitalism (The Penguin Group, September 2007), akan terang-benderanglah motif sebenarnya di balik langkah pemerintah menaikkan harga BBM atau mengobral 37 perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) kepada asing. Itu semata-mata untuk menegakkan ideologi kapitalisme-laissez-faire, atau di sini dikenal sebagai sistem ekonomi liberal, yang dianut pemerintah kita.Inilah sistem ekonomi pasar yang menyerahkan urusan ekonomi kepada perusahaan swasta dengan campur tangan pemerintah sebisa mungkin dihilangkan.
Sistem ini menginginkan pemerintah tidur saja. Pemerintah tetap tak boleh mencampuri urusan ekonomi, sekali pun hanya untuk meningkatkan taraf hidup orang miskin.Dalam pandangan ideologi ini, jika pemerintah mengurusi perekonomian orang miskin, itu sama artinya melakukan redistribusi kekayaan, menyebabkan orang menjadi malas dan kehilangan kreativitas. Kalau orang jadi miskin, biarkan saja miskin. Karenanya dia disebut sistem laissez-faire, dari bahasa Perancis: biarkan terjadi.Ciri khasnya: deregulasi, pajak rendah (terutama untuk pengusaha kaya, agar mereka lebih cepat melakukan akumulasi modal untuk meningkatkan kemampuan bersaing), swastaisasi/privatisasi, anti-subsidi, anti-pengaturan upah buruh minimal, dan semacamnya.Tentang upah buruh, misalnya, serahkan saja kepada mekanisme pasar, jangan diatur-atur pemerintah atau serikat buruh. Mekanisme pasar akan bekerja menentukan upah yang pantas untuk buruh. Artinya, semua terserah pengusaha. Karena itu belum bisa terlaksana, dunia perburuhan kita memakai sistem buruh terputus (off-sourcing), sehingga posisi tawar pengusaha kuat ketika berhadapan dengan serikat buruh.Ideologi ini pertama kali dirumuskan ekonom Skotlandia, Adam Smith, di akhir abad ke-18. Tapi setelah ekonomi dunia dilanda krisiss dahsyat (great depression) di akhir 1920-an, mulai banyak negara meninggalkannya. Ideologi ini dituduh sebagai biang keladi kehancuran ekonomi, meski para pendukungnya selalu membela diri.Ia kembali berkibar di awal 1980-an, ketika Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan dan Perdana Menteri Inggris Margaret Teatcher mengkampanyekannya, terutama untuk menghadapi sistem ekonomi komunisme Uni Soviet, dalam perang dingin. Maka ambruknya Uni Soviet, dengan simbol rubuhnya Tembok Berlin, 1989, diklaim sebagai kehebatan sistem ini.
Dalam prakteknya sistem ini menyebabkan orang kaya bertambah kaya, orang miskin bertambah miskin. Dunia pun terus-menerus dilanda krisis ekonomi, mulai great depression sampai krisis yang melanda Asia 1997, atau Amerika Serikat sekarang.Banyak para ahli berpendapat, multi-krisis yang melanda Amerika saat ini karena laissez-faire. George Soros, investor sukses pasar modal, termasuk berpendapat begitu. Padahal Soros justru dianggap simbol sukses kapitalisme global di tahun 1990-an.Naomi Klein, 38 tahun, aktivis, penulis dan wartawati terkemuka Kanada, lulusan London School of Economics, berhasil mengungkap sebuah metode dari sistem kapitalisme laissez-faire. Itu dikembangkan pemenang nobel ekonomi 1976, Profesor Milton Friedman, dan pengikutnya di Chicago School of Economics, University of Chicago.Klein menyebutnya Doktrin Kejut (The Shock Doctrine) dan itu yang ia jadikan judul buku setebal 558 halaman, dan banyak mendapat pujian. Sebuah artikel di Dow Jones Business News, Oktober 2007, menyebut The Shock Doctrine, The Rise of Disaster Capitalism (Doktrin Kejut, Bangkitnya Kapitalisme Bencana) sebagai buku terpenting tentang ekonomi di abad 21.The Chicago BoysBegini. Pada 2005, badai Katrina diikuti gelombang pasang meluluh-lantakkan New Orleans, kota berpenduduk 500.000 jiwa di tepi Sungai Mississippi, di tenggara Negara Bagian Louisiana. Hampir 2000 penduduk meninggal, rumah, jembatan, dan berbagai infrastruktur hancur. Inilah bencana alam dengan korban material terbesar di Amerika.Paman Miltie – begitu Milton Friedman dipanggil hormat pengikutnya – ternyata punya pendapat tersendiri atas bencana itu. Melalui kolom di koran The Wall Street Journal, 3 bulan setelah bencana, Paman Miltie menulis, ‘’Banyak sekolah di New Orleans rusak.
Begitu juga rumah tempat anak-anak berteduh. Anak-anak terpencar di seluruh negeri. Ini adalah sebuah tragedi. Ini juga sebuah peluang.’’Bagaimana bencana begitu dahsyat disebut Profesor Friedman sebagai peluang? Ternyata itu beralasan. Hanya dalam tempo 19 bulan, ketika banyak penduduk masih tinggal di pengungsian, sebuah kompleks sekolah telah berdiri di bekas sekolah negeri (public school) yang dihanyutkan badai. Sekolah itu dilengkapi berbagai fasilitas dan guru. Tapi ia bukan lagi sekolah negeri melainkan sekolah swasta yang didirikan pemodal. Reformasi pendidikan telah terjadi dengan gampang. Tanpa badai Katrina tak mudah memprivatisasi sekolah publik itu.Para bekas guru menyebut apa yang terjadi pada sekolah mereka sebagai perampasan lahan pendidikan. Naomi Klein menyebutnya aksi kapitalisme bencana (disaster capitalism). Ternyata sudah lebih tiga dekade Profesor Friedman dan pendukungnya yang biasa dijuluki The Chicago Boys, mentrapkan strategi itu: Menunggu datang krisis atau bencana lalu dengan cepat bergerak mereformasi status-quo.Semua yang berbau pemerintah dijadikan swasta (swastaisasi/privatisasi), ketika orang-orang masih dirundung kaget. Krisis bisa saja terjadi karena perang, bencana alam, teror, ambruknya pasar modal, atau krisis ekonomi lainnya.Dalam sebuah esei menarik, Friedman menulis bahwa hanya krisis – aktual atau hanya persepsi – yang bisa menghasilkan reformasi sesungguhnya untuk mengubah status-quo. Maka di New Orleans, orang bersiap-siap dengan stok makanan dan air minum, sementara para pendukung Friedman datang dengan ide-ide pasar bebas (free-market). Friedman meninggal dunia setahun kemudian, November 2006, dalam usia 94 tahun.Dari riset Naomi Klein, diketahui bahwa pengalaman pertama Friedman mengeksploitasi krisis atau kejut (shock) terjadi pertengahan 1970-an, ketika Chili mengalami kudeta oleh Jenderal Augusto Pinochet.
Negeri di Amerika Latin itu juga terkena trauma inflasi yang amat tinggi (hyperinflation). Friedman datang menasehati Diktator Pinochet untuk melakukan reformasi ekonomi dengan cepat: deregulasi, pemotongan pajak, perdagangan bebas, privatisasi BUMN, pemotongan anggaran sosial, antara lain, pemangkasan subsidi untuk rakyat miskin.Semua dijalankan Diktator Pinochet dengan tangan besi. Maka Chili mengalami reformasi sistem ekonomi menjadi kapitalisme laissez-faire paling ekstrim yang pernah terjadi, dan dijuluki sebagai revolusi The Chicago School. Kebetulan sejumlah penasehat ekonomi diktator itu adalah bekas mahasiswa Friedman di Chicago University.Naomi Klein mulai melakukan riset tentang ketergantungan kapitalisme pasar pada situasi krisis atau shock ketika Amerika Serikat menduduki Iraq, 2003. Penyerbuan itu betul-betul menimbulkan shock yang luar biasa bagi rakyat Iraq mau pun dunia. Lalu apa yang kemudian terjadi di negeri sosialis itu?
Luar biasa: Privatisasi massif berbagai perusahaan pemerintah, penurunan pajak sampai tinggal 15%, deregulasi dan perampingan fungsi pemerintah secara dramatis, terutama menyangkut urusan ekonomi dan praktek perdagangan bebas, sebebas-bebasnya. Friedman dan The Chicago Boys berperan dari belakang. Ia diketahui berteman akrab dengan Donald Rumsfeld, Menteri Pertahanan Amerika waktu itu, dan sejumlah pemikir neo-konservatif yang mengelilingi Presiden George Bush.Coba bayangkan, militer saja diprivatisasi di Iraq. Pemerintah mengontrak perusahaan Amerika, Blackwater Worldwide – yang sebelumnya sudah terancam bangkrut – untuk proyek jasa pengamanan para kontraktor minyak dan proyek bisnis lainnya. Termasuk untuk mengamankan Kedutaan Besar Amerika Serikat dan personalnya di kawasan zona hijau (Green-zone), Baghdad. Sekitar 30.000 pasukan Blackwater betul-betul mirip tentara dengan persenjataan lengkap berkeliaran di Baghdad dan sekitarnya.Pasukan bayaran itu berhak menembak dan membunuh orang tanpa bisa diadili. Dia tak tunduk pada hukum Iraq, tidak pula pada hukum Amerika Serikat.
Oktober lalu, DPR Amerika membuat undang-undang, bahwa kontraktor yang bekerja pada Pemerintah Amerika di daerah konflik di luar negeri, bertanggung-jawab pada hukum Amerika. Tapi Gedung Putih menolaknya, dan sampai kini undang-undang itu terkatung-katung di Senat.Padahal September lalu, sejumlah pasukan Blackwater, pengawal konvoi pejabat Departemen Luar Negeri Amerika Serikat yang berkunjung ke Baghdad, entah mengapa tiba-tiba menembaki kendaaran yang ada di jalan umum sekitarnya. Akibatnya, 17 orang meninggal, sejumlah lainnya luka-luka. Para pelaku penembakan sampai sekarang bebas tanpa diadili, dengan dalih belum ada undang-undangnya.Serangan dahsyat tsunami akhir 2004 di Sri Langka, tak luput dari inceran kaum kapitalis. Penanam modal asing bekerjasama dengan bank internasional memanfaatkan situasi panik akibat bencana, untuk menguasai garis-garis pantai yang indah. Di sepanjang pantai dengan cepat berdiri resor wisata yang megah, hotel, villa, motel, dan sebagainya, menyebabkan ratusan ribu nelayan yang semula mendiami kawasan itu, kini tergusur.
Jelaslah sekarang bagaimana sistem kapitalisme global bekerja untuk mencapai tujuan: memanfaatkan momentum trauma kolektif dari suatu krisis, musibah atau bencana, untuk melaksanakan rekayasa sosial dan ekonomi di berbagai belahan bumi.Raksasa Carrefour dan Kios Eceran Krisis ekonomi yang menimpa Asia pada 1997, jelas momentum yang ditunggu-tunggu oleh operator utama sistem kapitalisme global – IMF, Bank Dunia, dan WTO – dan itu dengan lengkap dilaporkan Klein di dalam The Shock Doktrine. Operasi IMF di Indonesia, misalnya, ditulis detil. Bagaimana IMF yang katanya datang untuk mengobati krisis, ternyata bekerja lebih untuk kepentingan ideologi kapitalisme.Bagaimana deregulasi, privatisasi, dan berbagai perangkat ideologi laissez-faire dipaksakan. Dan untuk itu, menurut The Shock Doktrine, IMF bisa sukses karena bekerja sama dengan kelompok Mafia-Berkeley di Indonesia yang dipimpin Profesor Widjojo Nitisastro (halaman 271). Biarlah sejarah kelak membuktikan, apakah tindakan kelompok Mafia-Berkeley itu penghianatan kepada bangsa Indonesia, atau tidak.Sejak itu, bukan rahasia lagi kalau banyak undang-undang kita yang amat liberal disahkan DPR atas pesanan IMF. Dikabarkan sejumlah draf undang-undang disiapkan NDI (National Democratic Institute for International Affairs), organisasi yang dibentuk dan dibiayai pemerintah Amerika Serikat – dekat dengan Partai Demokrat – dengan dalih untuk menyebarkan demokrasi di negeri berkembang. Dulu NDI sempat punya ruang khusus di Gedung DPR-RI. Jadi DPR kita tinggal mengetuk palu. Operasi IMF dalam krisis ekonomi Asia amat menakjubkan.
Dalam tempo 20 bulan, terjadi 186 merger dan aquisisi (pengambil-alihan) atas perusahaan-perusahaan negeri yang dilanda krisis -- Indonesia, Thailand, Malaysia, Filipina, dan Korea Selatan -- oleh perusahaan multi-nasional, terutama dari Amerika Serikat. Itu tercatat sebagai aquisisi terbesar yang pernah terjadi di dunia. Merrill Lynch dan Morgan Stanley, perusahaan Amerika yang banyak berperan sebagai agen merger dan aquisisi itu, panen keuntungan komisi yang cukup besar.Carlyle Group yang suka merekrut ‘’pensiunan’’ pejabat tinggi Amerika – mulai bekas Menlu James Baker sampai bekas Presiden George H.W.Bush – sebagai konsultan, memborong perusahaan telkom Daewoo dan perusahaan informasi Ssangyong. Yang disebut terakhir merupakan shalat satu perusahaan teknologi tinggi terbesar di Korea Selatan. Dengan menguasai perusahaan itu, Carlyle menjadi pemegang saham mayoritas di shalat satu bank terbesar di negeri ginseng itu.Semua transaksi itu tak normal, atau dengan kata lain dijual obral. Sekadar contoh, perusahaan mobil Korea Daewoo yang sebelum krisis bernilai 6 milyar dollar, waktu itu diambil-alih perusahaan mobil Amerika, General Motor, hanya dengan 400 juta dollar.Di Indonesia, sistem penyediaan air minum dikavling oleh Thames Water dari Inggris dan Lyonnaise des Eaux dari Perancis. Westcoast Eergy dari Kanada menguasai proyek pembangkit listrik yang besar.Sejak IMF menguasai Indonesia, perusahaan raksasa pengecer Carrefour dari Perancis masuk ke sini, menyapu perusahaan lokal yang sudah lama ada, seperti Golden Truly atau Hero, atau perusahaan kecil-kecil di pasar tradisional Tanah Abang dan Cipulir, yang jumlahnya begitu banyak.
Nasib mereka tambah parah karena kemudian super-market raksasa dari Malaysia, Giant, hadir kemari. Dia telan Hero yang memang sudah ngos-ngosan. Itulah hasil konkret reformasi 1998.Ternyata itu belum cukup. Belum lama, perusahaan Perancis itu membeli Alfa-Mart, super-market yang aktif masuk ke pedesaan. Dengan demikian, kini Carrefour dengan bebasnya akan menghancurkan kios eceran di desa-desa. Itulah laissez-faire yang sesungguhnya.Karena laisses-faire, Presiden SBY lebih memilih menyerahkan proyek minyak dan gas di Cepu yang amat menguntungkan kepada Exxon-Mobil, perusahaan minyak terbesar dan tertua Amerika Serikat, daripada kepada Pertamina, perusahaan BUMN milik sendiri.Ternyata setelah resep-resep IMF ditrapkan, artinya prinsip kapitalisme laissez-faire dilaksanakan, menurut The Shock Doktrine, justru penduduk miskin bertambah 20 juta orang di Korea Selatan, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Indonesia. Pengangguran meledak.Organisasi buruh internasional ILO, mencatat terjadi 24 juta penganggur baru. Itu justru terjadi pada masa puncak pelaksanaan reformasi IMF. Di Indonesia, angka pengangguran meloncat dari 4% menjadi 12%, dan dua tahun kemudian melambung tiga kali lipat. Setiap bulan ada 60.000 buruh di Thailand dan 300.000 buruh di Korea Selatan yang harus diberhentikan.
Di balik angka-angka statistik itu banyak kisah mengharukan, terutama menimpa anak-anak dan perempuan. Di pedesaan Korea Selatan dan Filipina banyak orang tua harus menjual anak gadisnya kepada pedagang manusia, untuk kemudian dijadikan pelacur di Australia, Eropa, dan Amerika Utara. Di Thailand, pejabat kesehatan melaporkan hanya dalam setahun terjadi peningkatan pelacuran anak-anak sebesar 20%. Data yang mirip terjadi di Filipina.Tapi sudahlah, ini semua cerita masa lalu. Sekarang, krisis baru terjadi lagi karena harga minyak meningkat di atas 120 dollar/barel. Dunia kian terguncang setelah harga pangan ikut menggila. Artinya, berdasarkan tesis The Shock Doktrine, kapitalisme global dan para operatornya sekarang sedang bekerja.Tapi di sini apalagi yang mau direformasi? Sejak 1998, Indonesia sudah menjadi shalat satu negara kapitalisme laissez-faire paling liberal di dunia. Lihatlah berbagai undang-undang yang dilahirkan DPR, semua liberal. Mulai UU Migas, UU privatisasi air, Pendidikan, Pertanahan, dan terakhir Undang-Undang Pelabuhan.Karena liberalisme, siapa yang ingin masuk perguruan tinggi negeri harus menyediakan uang Rp 100 juta. Habis bagaimana lagi, kampus sedapat mungkin harus membiayai diri sendiri.
Dengan demikian, anak petani, nelayan, buruh, pedagang kecil, jangan harap bisa mendaftar ke sana. Padahal kalau tak universitas negeri kemana lagi mereka belajar untuk meningkatkan taraf hidupnya?Artinya, dengan sistem ini orang miskin sampai kapan pun akan terus miskin. Hampir tertutup kemungkinan bagi mereka melakukan mobilitas vertikal lewat pendidikan. Inilah kemiskinan yang diciptakan oleh sebuah struktur.Era Universitas Gajah Mada (UGM) dijuluki Ndeso karena banyak anak desa kuliah di sana, sudah berakhir. Institut Pertanian Bogor (IPB) serupa. Zaman ketika anak-anak desa dari seluruh Indonesia berlomba-lomba belajar ke sana, kini agaknya sudah menjadi nostalgia.Perusahaan minyak Pertamina yang dulu perkasa kini sudah dirontokkan. Bulog yang dulu efektif sebagai penjamin stabilitas pangan sudah tamat riwayatnya. Bahwa akibatnya rakyat bertambah melarat dan segelintir konglomerat berlipat-ganda kekayaannya, itu soal lain.Majalah bisnis Forbes, 13 Desember 2007, menulis sepanjang tahun lalu kekayaan para konglomerat Indonesia meloncat dua kali lipat. Sungguh fantastis. Jadi kalau BPS menyodorkan angka pertumbuhan ekonomi kita tahun ini sekian persen, percayalah, itu berasal dari pertumbuhan kekayaan konglomerat kita. Bukan pertumbuhan kekayaan rakyat banyak.Yang paling menakjubkan adalah Menko Kesra Aburizal Bakrie. Pemilik perusahaan kelompok Bakrie itu, kekayaan bersihnya tahun lalu meroket empat kali lipat. Itu menjadikannya sebagai orang terkaya Indonesia, dengan kekayaan 5,4 milyar dollar. Apakah Aburizal punya lampu Aladin? Sebuah artikel di Asia Times Online, 22 Juli 2006, sebenarnya sudah pernah membongkar rahasia lampu Aladin itu. Antara lain, karena politik dan bisnis di Indonesia di zaman Presiden SBY, tak terpisah melainkan menyatu. Memang begitulah yang selalu terjadi di negeri dengan sistem laissez-faire. Begitulah Rusia di zaman Boris Yeltsin dulu. Para konglomerat dalam tempo singkat mendadak jadi kaya-raya, sampai Vladimir Putin datang menertibkannya. Para konglomerat itu kini lari ke luar negeri atau masuk penjara di Siberia. Tapi nantilah dalam kesempatan lain soal ini dibahas.
Di mata kaum kapitalisme laissez-faire, masih ada status-quo yang tersisa di Indonesia. BBM belum sepenuhnya mengikuti harga pasar dan perusahaan BUMN masih eksis. Mumpung suasana shock akibat kenaikan harga minyak dan krisis pangan masih berlangsung, sektor hilir pertambangan harus direformasi. Artinya, pemerintah harus menaikkan harga BBM, dan BUMN harus diobral. Semuanya harus dilakukan sekarang, mumpung krisis masih terjadi.Masih kurang jelas? Silahkan berkeliling Jakarta dan sekitarnya. Lihatlah bagaimana perusahaan minyak internasional Shell, dan Petronas dari Malaysia, telah dan sedang membangun sejumlah pompa bensin raksasa. Kabarnya izin yang dikeluarkan pemerintah sudah lebih 100.Semua pompa bensin Shell atau Petronas itu buka sampai malam dengan lampu yang terang-benderang, tapi betul-betul sepi pembeli. Seharian puluhan petugasnya yang berseragam hanya duduk-berdiri sampai capek sendiri, tak pernah melayani konsumen. Coba dicek, penghasilannya setiap bulan, mungkin tak cukup walau untuk sekadar membayar rekening listrik.Ini terjadi karena mereka hanya menjual BBM non-subsidi yang konsumennya hanya segelintir mobil mewah milik orang kaya. Bahwa mereka terus membangun pompa bensin baru, pasti karena ada jaminan subsidi minyak akan dicabut.
Dengan demikian mereka bisa bersaing bebas dengan pompa bensin Pertamina milik pengusaha lokal yang selama ini menguasai pasar karena menjual BBM bersubsidi. Bila itu terjadi, pompa bensin multi-nasional yang raksasa itu pasti dengan mudah menelan pompa bensin lokal yang kecil-kecil. Kasus Carrefour merontokkan Hero atau pedagang Tanah Abang, akan berulang. Itu sebabnya Shell dan Petronas dengan sabar menunggu laissez-faire. Cukup jelas? [habis/www.hidayatullah.com]
Penulis AMRAN NASUTION (Direktur Institute for Policy Studies.)

Selengkapnya......

Selasa, 20 Mei 2008

Penjajahan korporasi Asing atas Migas INDONESIA

dalam artikel yang berjudul "Restoring Indonesia's economy to a higher growth path" mencatat bahwa pengangguran di Indonesia mencapai 40% dari total angkatan kerja. Selain itu, Bank Dunia menyebutkan sekitar 49, 5% Rakyat Indonesia berpendapatan di bawah 2US$/hari. Di sektor pendidikan, yang menjadi pilar utama pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), justru menggambarkan situasi yang lebih miris. Menurut data Susenas 2004, dari penduduk usia sekolah 7–24 tahun yang berjumlah 76, 0 juta orang, yang tertampung pada jenjang SD sampai dengan PT tercatat baru mencapai 41, 5 juta orang atau sebesar 55 persen. (jakarta post 20/2/08)


Sementara itu, menurut data Balitbang Depdiknas 2004, angka putus sekolah atau drop-out di tingkat SD/MI tercatat sebanyak 685.967 anak, yang berhasil lulus SD/MI tetapi tidak melanjutkan ke jenjang SMP/MTs dan putus sekolah di tingkat SMP/MTs sebanyak 759.054 orang.

Situasi ini sangat kontras dengan nilai profit kandungan kekayaan alam yang dimiliki oleh tanah air kita, yang justru memberikan kemakmuran melimpah kepada korporasi-korporasi asing.

Dalam laporan pendapatannya untuk tahun 2007, pihak ExxonMobil memperoleh keuntungan sebesar $40.6 Billion atau setara dengan Rp3.723.020.000.000.000 (dengan kurs rupiah 9.170). Nilai penjualan ExxonMobil mencapai $404 billion, melebihi Gross Domestic Product (GDP) dari 120 negara di dunia. Setiap detiknya, ExxonMobil berpendapatan Rp 11.801.790, sedangkan perusahaan minyak AS lainnya, Chevron, melaporkan keuntungan yang diperolehnya selama tahun 2007 mencapai $18, 7 billion atau Rp171.479.000.000.000. Royal Ducth Shell menyebutkan nilai profit yang mereka dapatkan selama setahun mencapai $31 milyar atau setara dengan Rp 284.270.000.000.000.

Keuntungan yang diperoleh korporasi-korporasi Negara imperialis ini tidaklah setara dengan Produk Domestic Bruto (PDB) beberapa Negara dunia ketiga, tempat korporasi tersebut menghisap. Hingga akhir tahun 2007, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia belum sanggup menembus Rp4.000 Trilyun, untuk triwulan ke III tahun 2007 saja hanya mencapai Rp 2.901. trilyun. Untuk Negara penghasil minyak lainnya, Libya hanya 50.320 juta US$, Angola (44, 033 juta US$), Qatar (42, 463US$), Bolivia (11.163 juta US$), dan lain-lain.

Konfigurasi ini memperlihatkan pengalihan keuntungan eksplorasi tambang, baik migas maupun non-migas, di Negara-negara penghasil justru dinikmati oleh grup-grup korporasi dan Negara induknya. Di Indonesia, menurut laporan Energy information Administration (EIA) dalam laporannya (jan/08) mengatakan bahwa total produksi minyak Indonesia rata-rata 1, 1 juta barel per-hari, dengan 81% (atau 894.000 barel) adalah minyak mentah (crude oil). Untuk produksi gas alam, Indonesia sanggup memproduksi 97.8 juta kubik. Indonesia masuk dalam daftar ke 9 penghasil gas alam di dunia, dan merupakan urutan pertama di kawasan Asia Pasifik.

Sayangnya, hampir 90% dari total produksi tersebut berasal dari 6 MNC, yakni; Total (diperkirakan market share-nya di tahun 2004, 30%), ExxonMobil (17%), Vico (BP-Eni joint venture, 11%), ConocoPhillips (11%), BP (6%), and Chevron (4%). Sedang, stok gas bumi mencapai 187 triliun kaki kubik atau akan habis dalam waktu 68 tahun dengan tingkat produksi per tahun sebesar 2, 77 triliun kaki kubik. Cadangan batu bara ada sekitar 18, 7 miliar ton lagi atau dengan tingkat produksi 170 juta ton per tahun berarti cukup buat memenuhi kebutuhan selama 110 tahun. (Sumber: Kementerian ESDM).

Bandingkan dengan kebutuhan untuk pendidikan! Berdasarkan kajian Balai Penelitian dan Pengembangan Depdiknas, biaya ideal seorang siswa SD per tahun adalah Rp 1, 68 juta. Data Depdiknas menunjukkan, siswa setingkat SD se-Indonesia sekitar 25, 5 juta. Jadi untuk menggratiskan pendidikan di SD (minus infrastruktur) adalah 42.8 trilyun. Berdasarkan data Balitbang 2003 mengenai kondisi bangunan SD seluruh Indonesia, 32, 2 persen rusak ringan, rusak berat ada 25 persen. SLTP yang rusak ringan 19, 9 persen, rusak berat 7, 4 persen. Padahal, untuk memperbaiki sebuah gedung sekolah hanya membutuhkan dana paling banyak Rp100 juta, nilai ini sangat kecil jika dibandingkan dengan share profit di sector pertambangan yang menguap keluar.

Kenapa hal ini bisa terjadi?
Cadangan minyak Indonesia pada tahun 1974 sebesar 15.000 metrik barel dan terus mengalami penurunan. Pada tahun 2000 cadangan minyak Indonesia sekitar 5123 metrik barel (MB) dan tahun 2004 menjadi sekitar 4301 MB. Penyebab dari turunnya cadangan minyak Indonesia adalah; pertama Ladang-ladang pengeboran minyak di Indonesia (milik Pertamina) sudah sangat tua, sebagian besar masih peninggalan penjajah Belanda. Kebanyakan sumur-sumur yang ada sudah tua, teknologi yang digunakan pun sudah ketinggalan zaman.

Tidak ada revitalisasi technologi, tidak ada pembenahan struktur dalam perusahaan Migas, dan tidak ada upaya pemerintah untuk memberikan perlakukan khusus bagi perusahaan tambang dalam negeri. Ini semua menyebabkan kemampuan dan kapasitas produksi untuk penerimaaan pemerintah semakin mengecil. PT Pertamina (Persero) menargetkan: laba bersih tahun ini hanya Rp17, 8 triliun atau turun 27, 3 persen dibandingkan laba bersih 2007 sebesar Rp24, 5 triliun. Jadi, merupakan sebuah ironi, korporasi-korporasi asing yang bereksplorasi di wilayah yang sama, memperoleh keuntungan maksimum, sedangkan Pertamina mengalami penurunan laba (keuntungan).

Penyebab kedua, turunnya cadangan minyak Indonesia adalah sebagian besar ladang-ladang minyak Indonesia dikuasai oleh korporasi asing (MNC), seperti BP, Chevron, CNOOC, ConocoPhillips, ExxonMobil, Inpex, KG, Mitsubishi, Nippon Oil, PetroChina, Petronas, Total, Vico. Dengan pembangunan pipeline (jalur onshore dan jalur offshore) yang bisa mengalirkan minyak hasil eksplorasi dari berbagai blok minyak di Indonesia ke Singapore power, menyebabkan potensi hilangnya minyak Indonesia semakin besar. Ini masih ditambah dengan ketidaksanggupan pemerintah mengontrol secara tegas produksi murni dari korporasi (MNC).

Berpatokan kepada UU Migas Nomor 22/2001, pembagian keuntungan pihak Indonesia (Cq. Pemerintah) dan korporasi dilakukan dalam skema Production Sharing Contract (PSC), di mana pertamina telah menjadi bagian dari Kontraktor kontrak Kerja Sama (KKKS). Dalam skema PSC yang ada sekarang, Cost Recovery (CR) sepenuhnya ditanggung oleh Pemerintah Indonesia. Cost recovery minyak mentah Indonesia mencapai US$9, 03 per barel, sedangkan rata-rata cost recovery minyak mentah dunia sekitar US$4-US$6 per barel. Jadi, cost recovery Indonesia lebih tinggi sekitar 75 persen -125 persen per barel, dibandingkan rata-rata negara produsen minyak mentah di dunia.

Apakah ada masalah dengan biaya cost recovery ini? Iya, audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan pada penggunaan cost recovery periode 2000-2006 terhadap 152 kontraktor senilai Rp122, 68 triliun, ditemukan indikasi penyimpangan pada 43 kontraktor senilai Rp18, 07 triliun. Perhitungan cost recovery sebenarnya hanya beban atas kegiatan eksplorasi migas, yang meliputi biaya produksi pengangkatan minyak (lifting) dan biaya investasi. Tapi kenyataannya, dalam kontrak yang dibuat kontraktor dengan pemerintah, tak ada batasan yang tegas. Akibatnya, banyak komponen biaya lain seperti renovasi rumah dinas, biaya berobat, hiburan bahkan kegiatan tanggung jawab sosial (CSR). Ini mungkin yang membuat biaya tersebut membengkak. (sumber: jurnal nasional)

Skema bagi hasil Pemerintah Indonesia dan pihak korporasi memang sangat tidak adil, sangat merugikan pihak Indonesia, namun, beberapa elit politik justru memanfaatkan isu ini demi kepentingan politiknya, bukan untuk kepentingan rakyat. Seandainya, Indonesia mau melakukan peninjauan ulang kontrak karya dengan semua KKS, alasan legal formalnya sangat dibenarkan, mengingat ada bukti-bukti penyimpangan yang disimpulkan BPK. Peraih Nobel Ekonomi 2001 Joseph E. Stiglitz waktu datang ke Indonesia, menyatakan eksploitasi yang dilakukan perusahaan multinasional di negara berkembang sering kali dianggap sepenuhnya sah. Sebagian besar negara berkembang dinilainya tidak mampu terlibat dalam negosiasi canggih yang melibatkan perusahaan-perusahaan multinasional. Dia menduga negara-negara itu tidak mengerti implikasi penuh dari setiap klausul di dalam kontrak. Untuk Indonesia pun, Stiglitz menyarankan agar berani melakukan negosiasi ulang.

Karena proses perampokan kekayaan alam Indonesia ini sepenuhnya dilegitimasi oleh perundang-undangan pemerintah Indonesia, maka tidak ada jalan lain, rakyat Indonesia harus melakukan nasionalisasi (pengambil-alihan) terhadap seluruh perusahaan tambang asing tersebut. Langkah ini merupakan jalan yang tepat dan sanggup menyelamatkan kekayaan alam yang seharusnya diperuntukkan untuk rakyat Indonesia. Pada Hari Buruh Internasional, Morales resmi mengumumkan nasionalisasi 20 perusahaan minyak dan gas asing. Pengumuman langsung didukung tindakan dengan mengirim tentara Bolivia ke ladang minyak dan gas alam. Penempatan pasukan militer itu merupakan simbol bahwa instalasi minyak dan gas itu telah menjadi milik negara Bolivia. Gara-gara dekrit itu, penerimaan Bolivia disektor migas melonjak menjadi US$780 juta (sekitar Rp7 triliun) pada tahun 2007. Jumlah itu enam kali lipat disbanding penerimaan pada 2002. Bagaimana jika perusahaan asing menolak? "Mereka boleh pergi, " ujar Menteri Energi Andres Soliz.

Di Indonesia, di bawah Bung Karno, pemerintahan Soekarno mengeluarkan kebijakan UU No. 86/1958 tentang nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, termasuk sektor pertambangan. Selain itu, Bung Karno memberlakukan UU Nomor 44 Tahun 1960 yang mempertegas pengelolaan minyak dalam kontrol Negara. Setelah itu, Bung Karno menyerahkan skema profit-sharing agreement (PSA) yakni 60:40, ditambah kebijakan lain seperti MNC wajib menyerahkan 25 persen area eksplorasi setelah 5 tahun dan 25 persen lainnya setelah 10 tahun. Selain itu, MNC wajib menyediakan kebutuhan untuk pasar domestik dengan harga tetap dan menjual aset distribusi-pemasaran setelah jangka waktu tertentu. Skema Bung Karno langsung disetujui oleh presiden AS saat itu, John F Kennedy, dan tiga raksasa minyak dunia (Stanvac, Caltex, dan Shell). Cerita sukses Bung Karno itu bisa dilihat dalam prestasi sektor pendidikan, yakni Tingkat melék huruf naik dari 10 ke 50 persen (1960). Biaya pendidikan pada masa itu juga sangat murah.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, (EN-LMND), menyatakan sikap sebagai berikut:

  1. Nasionalisasi perusahaan pertambangan asing untuk kepentingan pendidikan gratis dan berkualitas.
  2. Tinjau-ulang kontrak karya dengan seluruh KKS karena telah merugikan pihak Indonesia.
  3. Cabut semua paket perundang-undangan (regulasi) yang mensahkan korporasi asing menjarah kekayaan alam bangsa kita.
  4. Industrialisasi Nasional; Pemerintah harus memfasilitasi pembangunan dan penguatan Industri pertambangan Negara yang tangguh dan modern, baik di sektor hulu sampai ke hilir. (Pers Rilis, Jakarta, 22 februari 2007, EksNas-LMND)

MARI TEGAKKAN KEADILAN DAN KEDAULATAN RAKYAT..
Semoga menemukan jawaban dan solusi tuk INDONESIA Tercinta..

Selengkapnya......

Sabtu, 17 Mei 2008

Jujur. ADIL dan ihsaN

Ada sebuah anekdot. Tersebutlah konon seorang Badui (bukan yang dari negeri Arab, melainkan yang dari Jawa Barat) dalam perjalanannya berjalan kaki kemalaman di sebuah dusun. Ia menumpang bermalam pada sebuah rumah di dusun itu. Yang empunya rumah menyodorkan bantal ke kepala tamunya itu. Orang Badui itu memindahkan bantal tersebut dari kepala ke kakinya. Ibarat kata pepatah, orang mengantuk disorongkan bantal, maka dengan segera orang Badui itu terlelap. Yang empunya rumah terheran-heran melihat orang Badui yang tidur lelap itu dengan kedua kakinya yang berbantal. Pagi-pagi keesokan harinya pada waktu menyuguhkan sarapan pagi ala kadarnya, yang empunya rumah bertanya kepada tamunya itu.

- Sobat, apakah memang demikian adat kebiasaan di kampung tempat asalmu, kedua kaki yang berbantal, bukan kepala?- Sebenarnya adat kebiasaan di kampung asal saya sama juga dengan adat kebiasaan orang di sini, kepala yang berbantal. Akan tetapi demi keadilan, karena kaki yang penat berjalan kaki sejauh itu, maka kakilah yang harus menikmati bantal. Kaki telah lebih banyak melaksanakan kewajibannya, sehingga kaki lebih berhak ketimbang kepala diberi berbantal, jawab orang Badui itu. - Oh, ya, itulah keadilan ditinjau dari segi keseimbangan antara hak dengan kewajiban, bergumam yang empunya rumah sambil manggut-manggut. Kata-katanya itu lebih ditujukan kepada dirinya sendiri ketimbang kepada tamunya itu.
Apakah sesungguhnya yang disebut adil itu?! Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya dan mengeluarkan atau memindahkan sesuatu dari tempat yang bukan pada tempatnya. Orang Badui itu menempatkan bantal itu pada tempatnya yaitu di kaki dan memindahkan bantal itu dari kepala yang bukan pada tempatnya, berhubung karena kaki lebih banyak menjalankan kewajibannya. Dalam hal ini kriteria yang dipakai untuk berlaku adil adalah keseimbangan antara kewajiban dengan hak.
Isu hak asasi manusia (HAM) sedang merebak sekarang ini. Dilihat dari segi kriteria keseimbangan antara kewajiban dengan hak, maka gerakan organisasi internasional perihal HAM ini tidaklah adil. Hanya getol dalam hal melancarkan hak asasi, tidak pernah kedengaran organisasi HAM ini bergerak dalam hal kewajiban asasi manusia (KAM).
Sesungguhnya ada organisasi yang bergerak dalam bidang kewajiban asasi manusia ini, akan tetapi tidaklah secara demonstratif mempergunakan ungkapan kewajiban asasi ini. Organisasi yang dimaksud itu adalah organisasi yang bergerak dalam lapangan da'wah. Hanya orang-orang yang beriman kepada Allah yang dapat membentuk organisasi yang bergerak dalam hal KAM dan sekaligus HAM. Firman Allah:
Wa Ma- Khalaqtu lJinna walInsa Illa- liYa'buduwni (S. AdzDza-riyat, 56), tidaklah Aku jadikan jinn dan manusia, melainkan mereka mengabdi kepadaKu (51:56).
Mengabdi kepada Allah SWT, itulah kewajiban asasi dan sekaligus hak asasi manusia. Maka tidaklah mungkin organisasi internasional yang bergerak dalam HAM ini akan berlaku adil dengan bergerak pula di bidang KAM, oleh karena pendiri ataupun orang-orang yang aktif dalam organisasi internasional itu adalah mereka penganut humanisme yang tidak mau tahu, bahkan ada yang tidak percaya kepada Allah SWT.
Kriteria keseimbangan antara kewajiban dengan hak bukanlah satu-satunya kriteria untuk berbuat adil. Buruh mengeluarkan keringat lebih banyak, artinya bekerja lebih keras dari mandur, akan tetapi gaji mandur lebih tinggi dari buruh. Sepintas lalu ini kelihatannya tidak adil. Kriteria yang dipakai di sini dalam hal menempatkan sesuatu pada tempatnya, adalah tanggung jawab. Tanggung jawab mandur lebih besar dari buruh, itulah sebabnya gajinya lebih tinggi.
Seorang bapak yang memandang warna kuning yang paling indah, membelikan semua anaknya pakaian baru berwarna kuning menjelang lebaran. Bapak itu menyangka sudah berlaku adil pada anak-anaknya, tidak memilih kasih salah seorang di antaranya, karena ia telah memberikan warna yang paling indah kepada semuanya. Akan tetapi sebenarnya sang bapak tidak berlaku adil, karena ada beberapa orang anaknya yang tidak senang pada warna kuning, sehingga mereka merasa tidak diperlakukan dengan adil. Dalam hal ini kriteria untuk berlaku adil adalah selera.
Seorang ibu memberikan uang saku yang sama banyak kepada anak-anaknya. Sang ibu sudah menyangka berlaku adil, tidak memilih kasih salah seorang di antaranya, semua mendapat bagian yang sama banyak. Akan tetapi sebenarnya sang ibu tidak berlaku adil oleh karena anaknya itu ada yang mahasiswa, ada yang masih di sekolah menengah bahkan masih ada yang di taman kanak-kanak. Dalam hal ini kriteria yang harus dipergunakan oleh sang ibu adalah kebutuhan.
Tidaklah yang menempuh ujian itu harus lulus semuanya. Yang luluspun tidak semuanya akan mendapatkan nilai yang sama. Kriteria keadilan dalam hal ini adalah kesanggupan.
Karena bermacam-macamnya kriteria dalam hal berbuat adil, maka untuk menentukan kriteria yang tepat haruslah jujur. Orang yang tidak jujur tidak mungkin dapat berbuat adil.
Khutbah kedua dalam khutbah Jum'at biasanya ditutup dengan S. An Nahl, 90: InnaLlaha Ya'muru bil'Adli walIhsa-ni, sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat adil dan ihsan (16:90).
Apa pula yang disebut ihsan? Yaitu mereka yang dengan ikhlas memberikan kepada orang lain hak yang berlebihan atau memilih kewajibannya lebih besar dari haknya. Contohnya, bapak-bapak dengan ikhlas memberikan hak kepada ibu-ibu adanya Hari Ibu dengan tidak menuntut adanya Hari Bapak. Seorang suami yang dengan ikhlas mengganti popok bayinya. Bukankah mengganti popok itu kewajiban sang isteri? Sang suami menambah kewajibannya mengganti popok, karena bayinya menangis-nangis, pada hal sang isteri sedang berkadahajat di WC. WaLlahu A'lamu bi shShawab.

Selengkapnya......

Rabu, 14 Mei 2008

Hakikat Kehidupan DUNIA

Seseorang yang tidak mengimani Allah akan mengatakan, "Saya telah menghabiskan hidup mengejar hal yang sia-sia. Saya telah meninggalkan tujuh puluh tahun di belakang saya, namun sebenarnya, saya masih belum dapat memahami untuk apa saya hidup. Ketika masih anak-anak, orang tua adalah pusat kehidupan saya. Saya mendapatkan kebahagiaan dan kesenangan dalam cinta mereka. Kemudian, sebagai seorang wanita muda, saya mengabdikan diri kepada suami dan anak-anak. Pada masa itu, saya membuat banyak cita-cita untuk diri saya. Namun ketika tercapai, semuanya seperti sesuatu yang cepat berlalu. Saat bergembira dalam keberhasilan, saya melangkah menuju cita-cita lain yang menyibukkan, sehingga saya tidak memikirkan makna hidup yang sesungguhnya. Kini pada usia tujuh puluh tahun, dalam ketenangan usia senja, saya mencoba menemukan apa gerangan tujuan masa lalu saya. Apakah saya hidup untuk orang-orang yang kini hanya samar-samar saya ingat? Untuk orang tua saya? Untuk suami saya yang telah berpulang bertahun-tahun yang lalu? Atau anak-anak yang kini jarang saya lihat karena telah memiliki keluarga masing-masing? Saya bingung. Satu-satunya kenyataan adalah bahwa saya merasa dekat dengan kematian. Saya akan segera meninggal dan menjadi kenangan yang redup dalam benak orang-orang. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Saya benar-benar tidak tahu. Bahkan memikirkannya saja sudah menakutkan!"

Tentunya ada alasan mengapa ia begitu berputus asa. Ini semata karena ia tidak dapat memahami bahwa alam semesta, seluruh makhluk hidup dan manusia memiliki tujuan yang telah ditentukan sebelumnya dan harus dipenuhi dalam hidup. Adanya tujuan-tujuan ini berasal dari fakta bahwa segalanya telah diciptakan. Orang yang berakal dapat melihat hadirnya perencanaan, perancangan, dan kearifan dalam setiap detail dunia yang penuh variasi. Hal ini membawanya pada pengenalan terhadap sang Pencipta. Selanjutnya ia akan menyimpulkan bahwa, karena seluruh makhluk hidup tidaklah disebabkan oleh suatu proses acak atau tanpa sadar; mereka semua menjalankan tujuan yang penting. Dalam Al Quran, pedoman asli terakhir yang diturunkan untuk manusia, Allah berulang kali mengingatkan kita akan tujuan hidup kita, suatu hal yang cenderung kita lupakan, dan dengannya membimbing kita pada kejelasan pemikiran dan kesadaran.
Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya. (QS. Huud, 11: 7)
Ayat ini memberikan pemahaman penuh akan tujuan hidup bagi orang-orang yang beriman. Mereka mengetahui bahwa hidup ini adalah tempat mereka diuji dan dicoba oleh Pencipta mereka. Karenanya, mereka berharap untuk berhasil dalam ujian ini dan mencapai surga serta kesenangan yang baik dari Allah.
Akan tetapi, demi kejelasan, ada sebuah poin penting untuk dipikirkan: mereka yang mempercayai 'keberadaan' Allah tidak lantas memiliki keyakinan yang benar; jika mereka tidak meletakkan kepercayaan kepada Allah. Kini, banyak orang menerima bahwa alam semesta adalah ciptaan Allah; namun, mereka kurang memahami dampak fakta ini terhadap hidup mereka. Karenanya, mereka tidak menjalankan hidup mereka sebagaimana yang seharusnya. Apa yang dianggap orang-orang ini sebagai kebenaran adalah, bahwa pada awalnya Allah menciptakan alam semesta ini, kemudian meninggalkannya.
Dalam Al Quran, Allah menunjukkan kesalahpahaman ini dalam ayat berikut:
Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah: "Segala puji bagi Allah"; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS. Luqman, 31: 25)
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: "Allah", maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan? (Surat az-Zukhruf: 87)
Karena kesalahpahaman ini, manusia tidak dapat menghubungkan kehidupan mereka sehari-hari dengan fakta bahwa mereka memiliki Pencipta. Itulah alasan dasar mengapa setiap manusia mengembangkan prinsip dan nilai-nilai moral pribadinya sendiri, yang terbentuk dalam budaya, komunitas, dan keluarga tertentu. Prinsip-prinsip ini sebenarnya berfungsi sebagai "petunjuk hidup" hingga datangnya kematian. Manusia yang menaati nilai-nilai mereka sendiri akan mendapatkan kenyamanan dalam harapan bahwa setiap tindakan yang salah akan dihukum sementara dalam neraka. Pemikiran sejenis menyimpulkan bahwa kehidupan abadi dalam surga akan mengikuti masa penyiksaan ini. Pemikiran tersebut tanpa sadar meredakan rasa takut akan hukuman yang memilukan di akhir kehidupan. Beberapa orang, di lain pihak, bahkan tidak merenungkan hal ini. Mereka sama sekali tidak memedulikan dunia selanjutnya dan "memanfaatkan hidup sebaik-baiknya".
Bagaimanapun, hal di atas tidak benar dan kenyataannya berseberangan dengan apa yang mereka pikirkan. Mereka yang berpura-pura tidak menyadari keberadaan Allah akan terjebak dalam keputusasaan yang dalam. Dalam Al Quran, orang-orang tersebut digambarkan sebagai berikut:
Mereka hanya mengetahui yang lahir dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang akhirat adalah lalai. (QS. Ar-Ruum, 30: 7)
Tentulah, orang-orang ini hanya memahami sedikit saja mengenai keberadaan dan tujuan sesungguhnya dunia ini, dan mereka tidak pernah berpikir bahwa kehidupan dalam dunia ini tidaklah kekal.
Ada beberapa ungkapan yang umum dipergunakan manusia mengenai pendeknya kehidupan ini: "Manfaatkanlah hidupmu sebaik-baiknya selagi sempat", "hidup itu pendek", "manusia tidak hidup selamanya" adalah ungkapan yang selalu dirujuk dalam mendefinisikan sifat dasar dunia ini. Namun, ungkapan-ungkapan ini mengandung keterikatan yang terselubung kepada hidup ini, dibandingkan kepada hidup setelahnya. Ungkapan-ungkapan itu mencerminkan perilaku umum manusia terhadap kehidupan dan kematian. Karena kecintaan akan hidup yang demikian besarnya, pembicaraan tentang kematian selalu diselingi dengan lelucon atau hal lain yang mengurangi keseriusan permasalahan tersebut. Selingan ini selalu memiliki tujuan, sebagai upaya sengaja untuk mereduksi permasalahan penting tersebut menjadi hal yang remeh.
Kematian sesungguhnya merupakan topik yang penting untuk direnungkan. Hingga saat seperti ini dalam kehidupannya, seseorang mungkin tidak menyadari betapa berarti kenyataan ini. Namun, karena kini ia punya kesempatan untuk memahami pentingnya hal tersebut, ia harus mempertimbangkan kembali kehidupan dan segenap harapannya. Tidak pernah ada kata terlambat untuk bertobat kepada Allah serta mengarahkan kembali seluruh perilaku dan melanjutkan kehidupan seseorang dalam kepatuhan akan kehendak Allah. Hidup itu pendek; jiwa manusia kekal. Dalam masa yang pendek ini, seseorang seharusnya tidak membiarkan keinginan yang sementara mengendalikannya. Seseorang seharusnya melawan godaan dan menjauhkan dirinya dari segala hal yang memperkuat ikatannya terhadap dunia ini. Sungguh tidak bijaksana untuk mengabaikan dunia yang selanjutnya, hanya demi kesenangan yang sementara ini.
Meski demikian, orang-orang yang tidak beriman dan tidak dapat memahami kenyataan ini menghabiskan hidup mereka dalam kesia-siaan dengan melupakan Allah. Lebih lanjut, mereka mengetahui bahwa tidaklah mungkin mereka mencapai keinginan-keinginan ini. Mereka selalu merasakan ketidakpuasan yang dalam dan menginginkan lebih daripada apa yang mereka miliki kini. Mereka memiliki harapan dan keinginan yang tidak berakhir. Namun, dunia bukanlah tempat yang sesuai untuk memuaskan keinginan-keinginan ini.
Tidak ada yang kekal di dunia ini. Waktu berlaku pada hal-hal yang bagus dan baru. Sebuah mobil baru akan segera ketinggalan jaman begitu model lain dirancang, diproduksi, dan dipasarkan. Sama halnya, seseorang mungkin menginginkan rumah besar milik orang lain atau rumah mewah dengan ruangan yang lebih banyak daripada penghuninya dan dengan perlengkapan yang dilapisi emas, yang pernah dilihat sebelumnya, akan kehilangan selera terhadap rumahnya sendiri dan tidak dapat menghindari hal-hal tersebut dengan rasa iri.
Sebuah pencarian tak berakhir untuk sesuatu yang baru dan lebih baik tidak memberikan nilai ketika ia telah dicapai, celaan terhadap sesuatu yang lama, dan meletakkan seluruh harapan pada yang baru: ini adalah lingkaran setan yang telah dialami manusia di mana pun sepanjang sejarah. Namun, seorang manusia yang berilmu pengetahuan seharusnya berhenti dan bertanya pada diri sendiri untuk sesaat: mengapa ia mengejar ambisi yang sementara dan sudahkah ia dapatkan keuntungan dari upaya itu? Akhirnya, ia seharusnya menarik kesimpulan bahwa "ada masalah mendasar pada pandangan ini". Namun manusia, yang sedikit sekali memikirkan hal ini, terus mengejar mimpi yang sepertinya tidak akan dapat mereka capai.
Tidak ada seorang pun, bagaimanapun juga, mengetahui apa yang akan terjadi bahkan dalam beberapa jam mendatang: setiap saat seseorang mungkin mengalami kecelakaan, terluka parah, atau menjadi cacat. Lebih jauh lagi, waktu berlalu dalam perhitungan menuju kematian seseorang. Setiap hari membawa hari yang telah ditakdirkan tersebut lebih dekat. Kematian pastilah menghapus seluruh ambisi, keserakahan, dan keinginan terhadap dunia ini. Di dalam tanah, baik harta benda maupun status tidak berlaku. Setiap harta benda yang membuat kita kikir, begitupun tubuh kita, akan menghilang dan meluruh di dalam tanah. Apakah seseorang itu kaya atau miskin, cantik atau jelek, suatu saat ia akan dibungkus dalam kafan yang sederhana.
Kami percaya bahwa Fakta-Fakta yang Mengungkap Hakikat Hidup menawarkan sebuah penjelasan mengenai sifat yang sesungguhnya dari kehidupan manusia. Sebuah kehidupan pendek dan penuh tipuan yang didalamnya keinginan duniawi terlihat menarik dan penuh janji, namun kenyataannya bertolak belakang. Buku ini akan memungkinkan Anda merasakan hidup Anda dan seluruh kenyataannya, dan membantu Anda memikirkan kembali tujuan Anda dalam hidup, bila Anda menginginkannya.
Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk mengingatkan manusia lain akan fakta-fakta ini, dan menyuruh mereka hidup hanya untuk memenuhi keinginan-Nya, sebagaimana yang difirmankan-Nya dalam ayat berikut:
Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat menolong bapaknya sedikit pun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan penipu memperdayakan kamu dalam Allah. (QS. Luqman, 31: 33)

Selengkapnya......