Sabtu, 17 Mei 2008

Jujur. ADIL dan ihsaN

Ada sebuah anekdot. Tersebutlah konon seorang Badui (bukan yang dari negeri Arab, melainkan yang dari Jawa Barat) dalam perjalanannya berjalan kaki kemalaman di sebuah dusun. Ia menumpang bermalam pada sebuah rumah di dusun itu. Yang empunya rumah menyodorkan bantal ke kepala tamunya itu. Orang Badui itu memindahkan bantal tersebut dari kepala ke kakinya. Ibarat kata pepatah, orang mengantuk disorongkan bantal, maka dengan segera orang Badui itu terlelap. Yang empunya rumah terheran-heran melihat orang Badui yang tidur lelap itu dengan kedua kakinya yang berbantal. Pagi-pagi keesokan harinya pada waktu menyuguhkan sarapan pagi ala kadarnya, yang empunya rumah bertanya kepada tamunya itu.

- Sobat, apakah memang demikian adat kebiasaan di kampung tempat asalmu, kedua kaki yang berbantal, bukan kepala?- Sebenarnya adat kebiasaan di kampung asal saya sama juga dengan adat kebiasaan orang di sini, kepala yang berbantal. Akan tetapi demi keadilan, karena kaki yang penat berjalan kaki sejauh itu, maka kakilah yang harus menikmati bantal. Kaki telah lebih banyak melaksanakan kewajibannya, sehingga kaki lebih berhak ketimbang kepala diberi berbantal, jawab orang Badui itu. - Oh, ya, itulah keadilan ditinjau dari segi keseimbangan antara hak dengan kewajiban, bergumam yang empunya rumah sambil manggut-manggut. Kata-katanya itu lebih ditujukan kepada dirinya sendiri ketimbang kepada tamunya itu.
Apakah sesungguhnya yang disebut adil itu?! Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya dan mengeluarkan atau memindahkan sesuatu dari tempat yang bukan pada tempatnya. Orang Badui itu menempatkan bantal itu pada tempatnya yaitu di kaki dan memindahkan bantal itu dari kepala yang bukan pada tempatnya, berhubung karena kaki lebih banyak menjalankan kewajibannya. Dalam hal ini kriteria yang dipakai untuk berlaku adil adalah keseimbangan antara kewajiban dengan hak.
Isu hak asasi manusia (HAM) sedang merebak sekarang ini. Dilihat dari segi kriteria keseimbangan antara kewajiban dengan hak, maka gerakan organisasi internasional perihal HAM ini tidaklah adil. Hanya getol dalam hal melancarkan hak asasi, tidak pernah kedengaran organisasi HAM ini bergerak dalam hal kewajiban asasi manusia (KAM).
Sesungguhnya ada organisasi yang bergerak dalam bidang kewajiban asasi manusia ini, akan tetapi tidaklah secara demonstratif mempergunakan ungkapan kewajiban asasi ini. Organisasi yang dimaksud itu adalah organisasi yang bergerak dalam lapangan da'wah. Hanya orang-orang yang beriman kepada Allah yang dapat membentuk organisasi yang bergerak dalam hal KAM dan sekaligus HAM. Firman Allah:
Wa Ma- Khalaqtu lJinna walInsa Illa- liYa'buduwni (S. AdzDza-riyat, 56), tidaklah Aku jadikan jinn dan manusia, melainkan mereka mengabdi kepadaKu (51:56).
Mengabdi kepada Allah SWT, itulah kewajiban asasi dan sekaligus hak asasi manusia. Maka tidaklah mungkin organisasi internasional yang bergerak dalam HAM ini akan berlaku adil dengan bergerak pula di bidang KAM, oleh karena pendiri ataupun orang-orang yang aktif dalam organisasi internasional itu adalah mereka penganut humanisme yang tidak mau tahu, bahkan ada yang tidak percaya kepada Allah SWT.
Kriteria keseimbangan antara kewajiban dengan hak bukanlah satu-satunya kriteria untuk berbuat adil. Buruh mengeluarkan keringat lebih banyak, artinya bekerja lebih keras dari mandur, akan tetapi gaji mandur lebih tinggi dari buruh. Sepintas lalu ini kelihatannya tidak adil. Kriteria yang dipakai di sini dalam hal menempatkan sesuatu pada tempatnya, adalah tanggung jawab. Tanggung jawab mandur lebih besar dari buruh, itulah sebabnya gajinya lebih tinggi.
Seorang bapak yang memandang warna kuning yang paling indah, membelikan semua anaknya pakaian baru berwarna kuning menjelang lebaran. Bapak itu menyangka sudah berlaku adil pada anak-anaknya, tidak memilih kasih salah seorang di antaranya, karena ia telah memberikan warna yang paling indah kepada semuanya. Akan tetapi sebenarnya sang bapak tidak berlaku adil, karena ada beberapa orang anaknya yang tidak senang pada warna kuning, sehingga mereka merasa tidak diperlakukan dengan adil. Dalam hal ini kriteria untuk berlaku adil adalah selera.
Seorang ibu memberikan uang saku yang sama banyak kepada anak-anaknya. Sang ibu sudah menyangka berlaku adil, tidak memilih kasih salah seorang di antaranya, semua mendapat bagian yang sama banyak. Akan tetapi sebenarnya sang ibu tidak berlaku adil oleh karena anaknya itu ada yang mahasiswa, ada yang masih di sekolah menengah bahkan masih ada yang di taman kanak-kanak. Dalam hal ini kriteria yang harus dipergunakan oleh sang ibu adalah kebutuhan.
Tidaklah yang menempuh ujian itu harus lulus semuanya. Yang luluspun tidak semuanya akan mendapatkan nilai yang sama. Kriteria keadilan dalam hal ini adalah kesanggupan.
Karena bermacam-macamnya kriteria dalam hal berbuat adil, maka untuk menentukan kriteria yang tepat haruslah jujur. Orang yang tidak jujur tidak mungkin dapat berbuat adil.
Khutbah kedua dalam khutbah Jum'at biasanya ditutup dengan S. An Nahl, 90: InnaLlaha Ya'muru bil'Adli walIhsa-ni, sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat adil dan ihsan (16:90).
Apa pula yang disebut ihsan? Yaitu mereka yang dengan ikhlas memberikan kepada orang lain hak yang berlebihan atau memilih kewajibannya lebih besar dari haknya. Contohnya, bapak-bapak dengan ikhlas memberikan hak kepada ibu-ibu adanya Hari Ibu dengan tidak menuntut adanya Hari Bapak. Seorang suami yang dengan ikhlas mengganti popok bayinya. Bukankah mengganti popok itu kewajiban sang isteri? Sang suami menambah kewajibannya mengganti popok, karena bayinya menangis-nangis, pada hal sang isteri sedang berkadahajat di WC. WaLlahu A'lamu bi shShawab.

Tidak ada komentar: