Minggu, 25 November 2007

Membangun Bangsa Mandiri melalui Pendidikan

“Pendidikan adalah sebagai proses pembentukan kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional secara manusiawi,” kata John Dewey.
“Tujuan pendidikan adalah menuntut segala kekuatan kodrati yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat dapat mencapai keselamatan dan kebahagian yang tertinggi,” pesan Ki Hajar Dewantara.


Kedua pelopor pendidikan di atas, memberikan kita gambaran menata dunia pendidikan, di antaranya melalui jalaur UN. Meski pada awalnya banyak kalangan yang meragukan sistem ini. Namun, sistem UN yang sudah berlangsung tiga tahun tersebut sudah terlihat hasilnya. Di antaranya, anak didik dan pihak sekolah lebih serius mengikuti proses belajar-mengajar. Ini merupakan kemajuan besar jika kita berbicara soal pembangunan proses konsep pendidikan guna mengejar standar pendidikan negara tetangga. Kita dapat lihat bagaimana sekolah dan para murid menjelang UN, sangat antusias belajar guna mengejar prestasi tinggi. Tentu ini sesuatu yang menggembirakan.
Ujian nasional hanya salah satu variabel keberhasilan dunia pendidikan kita. Banyak unsur pendukung yang bisa dijadikan bahan analisis jika dunia pendidikan berhasil; seperti kemandirian, keteladanan, moralitas, dan sebagainya. Terlepas dari itu semua, dunia pendidikan kita saat ini tengah dibenahi menuju “Accelerated Learnig For 2030 years”. Titik yang akan dituju yaitu mengantarkan anak bangsa kita mengembangkan keterampilan yang tepat dan memandang bahwa kekayaan bangsa ini berada pada hasil kualitas otaknya dalam berkerja. Dan belajar adalah merupakan petualangan hidup. Artinya, belajar tanpa batas usia dan terus berpikir kreatif, inovatif, enerjik, produktif, berwatak kerja keras, menghargai waktu, pantang menyerah dalam menghadapi kesulitan hidup dan menemukan solusi secara mandiri.
Pendidikan kita di masa datang perlu disenerjikan antara teori dengan aktualisasi di dunia kerja. Agar sistem pendidikan nasional melahirkan tenaga kerja yang memiliki daya saing, memiliki jiwa kemandirian, inovatif dan kreatif di dunia internasional. Karena, dengan sistem pendidikan yang baik dan benar, mampu mengubah sebuah bangsa menjadi maju jaya. Bahkan dengan pendidikan mampu mengubah status bangsa menjadi nomor wahid yang ujung-ujunganya dihormati di mata dunia. Di beberapa negara seperti Cina, Jepang, Malaysia, dan negara lainnya dihormati karena kemajuan di sektor pendidikan. Dengan pendidikan pula berbagai negara di dunia ini bisa keluar dari krisis ekonomi secara cepat. Begitu juga sebaliknya, tanpa sistem pendidikan yang tepat guna sangat sulit bangsa ini keluar dari krisis berkepanjangan.
Bila ditelusuri secara cermat mulai berdirinya negeri ini, ada kesalahan konsep pendidikan nasional yang ditanamkan oleh para penjajah sampai sekarang. Sehingga Indonesia dikatagorikan sebagai negara terbelakang di berbagai sektor kehidupan. Di beberapa negara yang ditimpa krisis moneter, secara cepat ditangani, karena SDM yang mereka miliki jauh lebih baik dari negara kita. Kita ambil contoh Malaysia, Filipina, Thailand, Korea Selatan dan sebagainya. Persoalan bangsa Indonesia saat ini di sektor pendidikan disebut sebagai hukum causality, yaitu hukum sebab dan akibat.
Adapun solusi teori causality itu adalah karakter kemandirian. Dengan karakter kemandirian ini akan melahirkan sifat progresif, visioner, willpower (kemauan keras), toil (kerja keras), dan produktif. Karena itu, pendidikan karakter mandiri perlu dibangun di negeri ini melalui jalur pendidikan secara serius agar para anak didik mempunyai orientasi bertindak dalam menata kehidupannya. Tidak lagi mengalami ketergantungan terhadap negara asing. Negara yang mampu berdikari, berdiri dari kaki sendiri.
Dalam memegang sikap kemandirian, Bung Karno menyarankan masyarakat Indonesia kembali ke agama. Menurut KH Firdaus AN dalam bukunya, “Dosa-dosa Politik Orla dan Orba yang Tak Boleh Berulang di Era Reformasi”, ia mengatakan bahwa Bung Karno berulang kali menegaskan: “Agama adalah unsur mutlak dalam nation and character building.” Selain itu, Bapak pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara memberikan contoh berkarakter mandiri. Bersikap atas dasar kemandirian yang berlandaskan pada jiwa keagamaan. Meskipun Ki Hajar Dewantara banyak rintangan yang dialami tapi beliau tetap tabah dalam kemandirian. Dan benih kemandirian itu beliau ditanamkan pula ke jiwa anak didiknya. Saat Ki Hajar Dewantara diasingkan di Belanda, beliau tetap bersikap mandiri dalam memegang prinsip dan enggan bergabung pada pihak penjajah. Selain Ki Hajar Dewantara, ada nama Jendral Sudirman, Sultan Hasanuddin, H Agus Salim dan lainnya.
Selain para pahlawan di atas, Guru Besar Universitas Waseda Prof Toshiko Kinoshita menasehati bangsa ini agar menempatkan pendidikan sebagai proritas utama dalam berbangsa dan bernegara. Yang terpenting, kata Prof di universitas terkemuka di Jepang itu adalah basic science atau pendidikan dasar bukan pada pendidikan terlalu canggih. Ia mencontohkan Cina maju karena mengutamakan kualitas SDM di bidang pendidikan (Kompas, 24 Mei, 2002). Sangat betul kata Toshiko Kinoshita, setelah negari Sakura hancur berkeping-keping dalam Perang Dunia Kedua, ia bangkit kembali menjadi bangsa besar di tengah percaturan industri dan berdagangan dunia. Itu terjadi, karena negeri Matahari Terbit itu memproritaskan pendidikan kemandirian dan kewiraswastaan dalam membangun bangsanya. Di mana pendidikan yang tertanam bernilai budaya bushido, yang artinya kerja keras, disiplin tinggi dan pantang menyerah.
Konsep UN 2007 Membangun Karakter Bangsa
UN 2007 tinggal menghitung jari. Waktunya semakin mendekat yang rencananya digelar tanggal 24-26 April untuk SMP/MTs dan tanggal 17-19 April 2007 untuk SMU/SMK/MA. Berbagai persiapan pun dilakukan pihak sekolah di seantero nusantara untuk meraih prestasi tinggi. Proses belajar-belajar super ketat pun digalakkan agar persiapan menjalani UN benar-benar matang. Ada murid yang mengikuti try out. Selain itu, sekolah menyewakan lembaga bimbing tes atau bimbingan belajar untuk anak didiknya. Semua itu dilakukan agar mencapai nilai minimal (passing grade) untuk lolos UN. Dan menjaga persentase kelulusan sekolah serta membela nama baik daerah di mana mereka berada (Kompas, 29/03/2007)..
Dengan adanya perasaan ‘gensi-gensi-an’ dari pihak sekolah dan anak didik tersebut mampu mengakselerasi perbaikan kualitas dunia pendidikan yang nantinya menggiring pada pengembangan kejiwaan insani. Sebab, setiap sekolah atau daerah tak ingin dikatakan sebagai low quality. Jika kesadaran masyarakat tinggi terhadap kualitas pendidikan, secara otomatis, seluruh potensi yang dimilikinya digerakkan untuk menggapai tujuan pendidikan nasional. Dan nantinya akan memberikan efek positif bagi kualitas pendidikan nasional kita yang terpuruk di titik nadir.
Sekedar memperbarui ingatan kita, kualitas pendidikan Indonesia menurut Internasional Education Achievement (IEA) berada pada urutan ke-38 dari 39 negara. Hasil ini masih pada kemampuan membaca untuk tingkat SD. Belum pada kemampuan matematika untuk siswa SMP dan sederajat berada diperingkat ke-39 dari 42 negara. Sedangkan untuk Ilmu Pengetahuan Alama (IPA) negara kita juga berada di titik terendah, diurutan 40 dari 42 negara.
Menurut laporan Pengembangan Manusia (Human Development Report 2002-UNDP), angka Human Development Indeks (HDI) tahun 2002, Indonesia memperoleh nilai 0,684 atau berada pada rangking 100, di bawah Vietnam yang dapat nilai 0,688 dan berperingkat 109. Itu masih Vietnam. Belum lagi Cina (urutan 96), Filipina (urutan 77), Thailand (700), Malaysia (urutan 59), Brunai (32), Singapura (25), dan Jepang berada diurutan 9. Di mana penilaian HDI berada pada titik indeks campuran yang ukuran prestasinya di tiga dimensi dasar pengembangan manusia. Pertama, a log and healty life. Kedua, knowlegde atau pengetahuan dan a decent standartd of living alias kelayakan standar hidup.
Ujian Nasional untuk tahun 2007 ini bukan lagi satu-satunya penentu kelulusan. Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) telah menyusun empat faktor yang dijadikan pertimbangan bagi sekolah untuk menentukan selesainya atau tidaknya masa studi siswanya. Saat ini, BSNP telah mengusulkan kepada Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) tentang parameter lain tersebut... upaya kita ini untuk menghilangkan opini masyarakat bahwa ujian nasional adalah sesuatu yang menakutkan. Faktor yang dijadikan tolok ukur kelulusan siswa tersebut adalah penyelesaian seluruh program pembelajaran, nilai baik untuk empat hal (agama dan akhlak mulia, kewarganegaraan dan kepribadian, estetika, dan kelompok mata pelajaran pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan), lulus ujian sekolah, serta lulus ujian nasional. Keempat unsur itu berdiri sendiri, bukan dirata-ratakan. Siswa harus berjuang keras untuk dapat lulus di empat penilaian tersebut. Dengan adanya faktor baru tersebut sebagai penentu kelulusan itu juga memberi peluang kepada sekolah, khususnya guru, untuk ikut menentukan nasib ujian peserta didiknya. Karena itu, sekolahlah yang menentukan seorang siswa lulus atau tidak. Sebab selama anak didik menjalani proses belajar mengajar, sekolah lebih mengetahui kondisi riil sang siswa. Dan teknis penilaian terhadap siswa dengan memakai parameter penyelesaian seluruh program pembelajaran. Yang sebelumnya pihak sekolah lebih mengetahui berapa kali seorang siswa masuk atau bolos selama belajar di sekolah itu. Setiap sekolah mempunyai perhitungan sendiri dalam penilaian ini. Apakah harus 75 persen atau 80 persen dari total pembelajaran. Demikian juga untuk kriteria kedua, yaitu memperoleh nilai baik untuk empat hal. Perlu digarisbawahi, nilai baik tidak hanya diwujudkan dalam bentuk angka. Namun juga terkait dengan perilaku siswa selama dalam masa studi. Tentu sekolah lebih tahu seluk beluk anak didiknya. Dengan dilibatkannya sekolah dalam menentukan kelulusan peserta didik agar dapat menghapus pengebirian hak-hak guru dalam hal pengambilan keputusan terhadap proses pengajaran. Sebelumnya, UN dinilai mengesampingkan jerih payah siswa selama setahun terakhir di sekolah. Padahal disitulah terdapat rekaman penting guru tentang kondisi terakhir siswa. Guru hanya memfokuskan diri pada proses mengajar dengan membuat perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi. Tetapi, hak untuk mengevaluasi tidak diberikan dalam ujian akhir.
Dengan kebijakan yang baru itu, rekaman dan pantauan guru yang menentukan siswa layak lulus atau tidak tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen). BSNP telah memberikan pada sekolah-sekolah tentang panduan standar penilaian, ujian ulangan, dan perilaku siswa. Di mana kriteria kelulusan tercantum pada pasal 72 PP No19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Di situ diatur mengenai petunjuk teknis rinci tentang penentuan kelulusan peserta didik dari dan oleh satuan pendidikan. Untuk rata-rata nilai lulus, ada perubahan. Standar kelulusan UN 2007, dengan tiga mata pelajaran yang diujikan, yaitu bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan matematika, siswa harus memperoleh nilai rata-rata minimal 5 dengan nilai terkecil dari ketiganya adalah 4,25. Atau, salah satu dari mata pelajaran mendapat nilai 4, dengan syarat dua mata pelajaran yang lain mendapat nilai 6. Itu untuk memberikan peluang siswa yang pandai, tapi mendapat nilai jelek pada salah satu mata ujian. Namun, lulus UN tidak menjamin seorang siswa dinyatakan lulus sekolah. Pasalnya, dalam Permen tersebut diatur bahwa syarat kelulusan meliputi empat hal. Dari keempat itu harus selesaikan sesuai program pembelajaran; Memperoleh nilai baik untuk empat kategori, yaitu agama dan akhlak mulia, kewarganegaraan dan kepribadian, estetika, dan kelompok mata pelajaran pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan; lulus ujian sekolah; dan lulus ujian nasional. Semua penilaian itu berdiri sendiri, bukan dirata-rata. Artinya, UN bukan lagi satu-satunya penentu kelulusan tapi sekolah yang akan menentukan lulus tidaknya peserta didiknya. Dari kesemua perbaikan sistem UN 2007 mengarah pada bagaimana membangun kemandirian sekolah dan anak didik seperti dibahas di atas.

Tidak ada komentar: